Keberagaman Suku Dan Budaya
Dalam Perspektif Al-Qur’an, Hadits, Dan Pemikiran Ulama Serta Relevansinya
Dengan Kajian Multikultural Modern
Abstrak
Keberagaman suku dan budaya
merupakan realitas sosial yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Perbedaan identitas etnis dan budaya sering kali menjadi potensi kekayaan
sosial, namun juga dapat memicu konflik apabila tidak dikelola dengan prinsip saling
menghargai. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis konsep keberagaman suku
dan budaya berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, dan pemikiran para ulama, serta
mengaitkannya dengan kajian multikulturalisme modern. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan normatif-teologis dan
interdisipliner melalui studi kepustakaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa Islam
secara tegas mengakui pluralitas sebagai sunnatullah dan mewajibkan sikap
saling menghormati antar kelompok sosial. Prinsip-prinsip tersebut sejalan
dengan teori multikulturalisme dan kohesi sosial dalam ilmu sosial modern.
Kata kunci: Keberagaman,
Suku dan Budaya, Islam, Multikulturalisme, Toleransi
Pendahuluan
Keberagaman suku dan budaya
merupakan ciri utama masyarakat global dan bangsa-bangsa modern. Indonesia,
sebagai negara multietnis dan multikultural, menghadapi tantangan serius dalam
menjaga harmoni sosial di tengah perbedaan identitas budaya. Berbagai konflik
horizontal yang berlatar belakang suku dan budaya menunjukkan pentingnya
landasan etis dan normatif dalam mengelola perbedaan.¹
Dalam perspektif Islam, perbedaan
suku dan budaya bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari kehendak Allah
SWT. Islam memandang pluralitas sebagai sarana untuk membangun relasi sosial
yang adil dan beradab, bukan sebagai alasan untuk saling merendahkan. Pandangan
ini memiliki irisan yang kuat dengan teori multikulturalisme modern yang
menekankan pengakuan dan penghormatan terhadap identitas budaya.²
Metode Penelitian
Artikel ini menggunakan metode studi
kepustakaan (library research) dengan pendekatan normatif-teologis dan
interdisipliner. Sumber data meliputi Al-Qur’an, Hadits Nabi SAW, kitab
tafsir dan pemikiran ulama, serta jurnal ilmiah di bidang sosiologi,
antropologi, dan studi multikultural. Analisis dilakukan secara
deskriptif-analitis.
Keberagaman Suku dan Budaya
dalam Perspektif Al-Qur’an
Al-Qur’an secara eksplisit
mengakui keberagaman manusia dalam suku dan bangsa:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS.
Al-Hujurat: 13).³
Ayat ini menegaskan bahwa
perbedaan identitas sosial merupakan sarana ta‘āruf (saling mengenal),
bukan dasar diskriminasi. Standar kemuliaan manusia dalam Islam tidak
ditentukan oleh asal-usul suku atau budaya, melainkan oleh ketakwaan.
Konsep ini sejalan dengan prinsip
kesetaraan manusia (human equality) dalam kajian sosial modern yang
menolak hierarki berbasis etnisitas.⁴
Hadits Nabi dan Etika
Menghargai Perbedaan
Rasulullah SAW menolak segala
bentuk fanatisme kesukuan (‘ashabiyyah). Dalam sebuah hadits beliau
bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami
orang yang menyeru kepada fanatisme golongan.”⁵
Hadits ini menegaskan bahwa sikap
merendahkan suku atau budaya lain bertentangan dengan nilai Islam. Nabi SAW
juga mencontohkan praktik sosial inklusif dalam masyarakat Madinah yang
multietnis dan multibudaya, di mana kaum Muhajirin, Anshar, dan komunitas
non-Muslim hidup dalam satu tatanan sosial yang diikat oleh Piagam Madinah.
Prinsip ini sejalan dengan teori social
inclusion dalam sosiologi modern.⁶
Pandangan Ulama tentang
Pluralitas Sosial
Imam Al-Ghazali menekankan
pentingnya akhlak sosial dalam menjaga keharmonisan masyarakat. Menurutnya,
merendahkan kelompok lain merupakan penyakit hati yang merusak tatanan sosial.⁷
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah
menjelaskan bahwa perbedaan budaya dan tradisi merupakan konsekuensi dari
lingkungan dan sejarah sosial suatu masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada
legitimasi ilmiah maupun moral untuk merendahkan kelompok lain.⁸
Ulama kontemporer seperti Yusuf
Al-Qaradawi menegaskan bahwa pluralitas budaya adalah sunnatullah yang harus
disikapi dengan toleransi dan keadilan, selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar agama.⁹
Perspektif Multikulturalisme
Modern
Dalam kajian antropologi dan
sosiologi, multikulturalisme dipahami sebagai pengakuan dan penghormatan
terhadap keberagaman budaya dalam satu ruang sosial.¹⁰ Penelitian menunjukkan
bahwa masyarakat yang mampu mengelola perbedaan secara inklusif cenderung memiliki
tingkat kohesi sosial yang lebih tinggi.¹¹
Teori intercultural dialogue
menekankan pentingnya komunikasi lintas budaya untuk mencegah konflik sosial.
Prinsip ini memiliki kesesuaian dengan konsep ta‘āruf dalam Al-Qur’an,
yang mendorong interaksi positif antar kelompok.¹²
Keberagaman dan Maqashid
Syariah
Penghormatan terhadap perbedaan
suku dan budaya berkaitan erat dengan maqashid al-syari’ah, khususnya:
- Hifz al-Din (menjaga agama) melalui
keteladanan akhlak,
- Hifz al-Nafs (menjaga jiwa) dengan mencegah
konflik dan kekerasan,
- Hifz al-‘Irdh (menjaga kehormatan) setiap
individu dan kelompok,
- Hifz al-Nizam al-Ijtima‘i (menjaga tatanan
sosial).
Dengan demikian, sikap saling
menghargai perbedaan dapat dipandang sebagai kewajiban kolektif (fardh
kifayah) demi menjaga stabilitas dan kemaslahatan masyarakat.¹³
Kesimpulan
Artikel ini menyimpulkan bahwa
keberagaman suku dan budaya dalam Islam merupakan realitas ilahiah yang harus
disikapi dengan sikap saling menghormati dan keadilan. Al-Qur’an, Hadits, dan
pemikiran ulama menunjukkan keselarasan yang kuat dengan teori multikulturalisme
modern dalam menegakkan kesetaraan, inklusivitas, dan kohesi sosial. Oleh
karena itu, internalisasi nilai-nilai Islam tentang penghargaan terhadap
perbedaan menjadi sangat relevan dalam membangun masyarakat multikultural yang
damai dan beradab.
Catatan Kaki (Footnote)
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Ibnu Khaldun. Al-Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr.
Kymlicka, W. Multicultural Citizenship. Oxford: Oxford University Press,
1995.
Qaradawi, Yusuf al-. Fiqh al-Ta‘ayush. Kairo: Dar al-Syuruq.
Sen, A. Identity and Violence. New York: Norton, 2006.
UNESCO. Intercultural Dialogue. Paris: UNESCO, 2013.

0 Komentar