Waktu Qadha
Waktu untuk mengqadha puasa Ramadhan adalah setelah habisnya
bulan itu sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Disunnahkan menyegerakan
qadha, agar cepat bebas tanggungannya dan gugur kewajibannya. Wajib berazam
untuk menggadha setiap ibadah apabila dia tidak mengerjakannya dengan segera.
Qadha harus dilaksanakan segera apabila jarak dari Ramadhan berikutnya tinggal
sejumlah hari yang ketinggalan puasanya di Ramadhan sebelumnya.
Madzhab Syafi'i memandang wajib melaksanakan qadha dengan segera
apabila pembatalan puasa di bulan Ramadhan itu terjadi tanpa ada uzur syar'i.
Bagi orang yang punya tanggungan qadha puasa Ramadhan, makruh berpuasa sunnah.
Jika seseorang menunda pelaksanaan qadha sampai datangnya bulan Ramadhan
berikutnya, jumhur berpendapat bahwa sesudah menjalani puasa Ramadhan yang baru
datang itu, dia wajib mengqadha puasa Ramadhan tahun sebelumnya dan wajib
membayar kafarat (fidyah). Sedangkan madzhab Hanafi, berpendapat bahwa tidak
ada kewajiban membayar fidyah atasnya, baik penundaan qadha itu terjadi karena
ada uzur maupun tanpa uzur. Menurut madzhab Syafi'i, fidyah berulang-ulang
seiring pergantian tahun.
Akan tetapi, tidak sah melakukan qadha pada hari-hari yang
terlarang untuk diisi puasa (misalnya hari-hari Id), pada waktu yang sudah
dinadzarkan untuk diisi puasa (misalnya hari-hari pertama bulan Dzulhijjah),
maupun pada hari-hari bulan Ramadhan tahun ini. Sebab, bulan yang sekarang
dikhususkan untuk adaa', maka ia tidak dapat menerima puasa yang lain.
Sah menjalani qadha pada hari syakk, karena sah pula menjalani puasa sunnah
pada hari itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Qadha mesti sesuai dengan jumlah harinya. Jika bulan Ramadhan
itu terdiri atas 29 hari, wajib mengqadha puasa sebanyak itu saja pada bulan
yang lain.
Bagaimana mana melakukan Qadha? Apakah harus Berturut-turut?
Mayoritas fuqaha sepakat bahwa disunnahkan menunaikan qadha
secara berturut-turut (berkelanjutan). Akan tetapi, qadha puasa Ramadhan tidak
disyaratkan harus berturut-turut maupun segera. Terserah orangnya mau
melaksanakannya secara terpisah-pisah atau berturut-turut, sebab nash Al-Qur'an
yang mewajibkan qadha bersifat mutlak (tanpa menyebut syarat/kriteria
tertentu). Kecuali jika bulan Sya'ban tahun berikutnya hanya tersisa sejumlah
hari yang hanya cukup untuk menjalani qadha, maka qadha harus dilaksanakan
secara berturut-turut, sebab waktunya sempit, sama seperti hukum adaa' Ramadhan
bagi orang yang tidak punya uzur.
Dalil tidak wajibnya berturut-turut adalah zahir firman
Allah,
…فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَر…
"...maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak
berpuasa itu) pada hari-hari yang lain...." (al-Baqarah: 184. 185)
Ayat ini hanya mewajibkan jumlah hari yang sama, tidak
mewajibkan berturut-turut.
Madzhab Zhahiri dan Hasan Bashri mensyaratkan berturut-turut, dengan dalil perkataan Aisyah, "Semula ayat itu turun begini: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain secara berturut-turut, kemudian ungkap- an secara berturut-turut itu dihapus."
Referensi: Kitab Fikih Islam wa Adillatuhu Syekh Wahbah az-Zuhaili Kitab Puasa
0 Komentar