1)
كَانَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِذَا
دَفَعَ مَالًا مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ: لَا يَسْلُكُ بِهِ بَحْرًا،
وَلَا يَنْزِلُ بِهِ وَادِيًا، وَلَا يَشْتَرِي بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ،
فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ، فَرَفَعَ شَرْطَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني في الأوسط عن ابن عباس)[1]
Artinya: “Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan
dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan
itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR.
Thabrani dari Ibnu Abbas).
Hadis diatas dha’if karena periwayat ketiga, Abul-Jarud, oleh para
kritikus hadis dinilai sebagai seorang pendusta. Periwayat keempat, Yunus bin
Arqam, hanya disebut dalam Tsiqat Ibnu Hibban, tidak disebut-sebut dalam
kitab-kitab tarjamah dan tabaqat yang lain. Dia termasuk periwayat yang majhul.
Periwayat kelima Muhammad Bin Uqbah As-Sudusi, menurut Ibnu Hajar adalah
periwayat shuduq yang banyak salahnya. Menurut Abu Hatim, dia dha'if
al-hadis. Abu Zar'ah tidak mau meriwayatkan hadisnya.[2]
Hadis ini menjelaskan tentang Abbas yang melakukan investasi dengan akad
mudharabah, maka ia mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak membawa harta
tersebut melewati lautan, menuruni lembah dan tidak membeli binatang. Apabila
mudharib melanggar, maka ia harus menanggung risikonya. Syarat yang diajukan
ini kemudian dibenarkan oleh Rasul.
Pada Hadis ini, terjadi praktek mudharabah muqayyadah, yaitu bentuk kerja
sama antara kedua belah pihak dengan syarat-syarat dan batasan tertentu. Dimana
shahibul mal membatasi jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Dalam istilah
ekonomi Islam modern, jenis mudharabah ini disebut Restricted Investment
Account. Batasan-batasan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan modalnya dari
resiko kerugian seperti sudah dijelaskan pada jenis-jenis mudharabah sebelumnya.[3]
2)
أن النبي صلى
الله عليه وآله وسلم قال: ثَلَاثٌ
فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ، الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَأَخْلَاطُ
الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ، لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ (رواه
ابن ماجه عن صهيب)[4]
Artinya: “Nabi bersabda, 'Ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual”. (HR. Ibnu Majah dari
Shuhaib)
Hadis ini dha’if, Ibnu Hajar berkata:
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dha'if. Hal itu
dikarenakan di dalam sanadnya terdapat Shalih bin Shuhaib, Abdurrahrnan bin
Daud, Nadhr bin Qasim, yang menurut al-Bushairi, al-uqaili dan as-Sundi dinilai
sebagai orang-orang tak dikenal. Ibnu Hazm berkata, “Setiap bab dalam fikih
mernpunyai dasar Al-Qur'an dan Sunnah, kecuali Qiradh. Yang terakhir disebut
ini kami tidak menemukan dasar di dalam Al-Qur'an dan Sunnah.” Yang
memastikan bahwa Qiradh sudah berlaku di masa Nabi SAW dan diakui oleh beliau
adalah dalil ljrna' yang menyatakannya sebagai akad jaa'iz (boleh).[5]
Hadis
ini menjelaskan adanya keberkahan dalam tiga hal:
a) Pertama,
menjual barang dengan pernbayaran tunda, baik melalui transaksi salam (memesan barang
dengan memberikan modal di muka) maupun melalui angsuran. Keberkahan dalam
dalam transaksi seperti dikarenakan adanya kemudahan dan bantuan kepada pembeli
atas skema pembayaran. Penjual menerima uang pembayaran dikit demi sedikit.
Bisa jadi penjual memberikan harga lebih tingi daripada harga sekarang sebagai
kompensasi atas waktu pembayaran yang diberikan kepada pembeli. Cara terakhir
ini juga tetap memperoleh keberkahan.
b) Kedua,
Muqaaradhah, atau disebut juga dengan Mudharabah. Keberkahan dalam transaksi
ini disebabkan karena memberikan peluang kepada pengangguran untuk menghasilkan
uang dengan modal orang lain. Di mana pemilik modal menyerahkan uangnya,
sedangkan dia mengerahkan kemampuan tenaga dan pikirannya. Keuntungan yang
diperoleh dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan. Dengan begitu,
masing-masing mernperoleh keuntungan. Biasanya, fenomena seperti ini terjadi
akibat pemilik modal tidak mampu mengelola uangnya sementara pihak lain rnampu
dan menguasai cara pengelolaan uang. Di samping itu, biasanya pengelola adalah
pengangguran. Dengan begitu ada keberkahan bagi kedua pihak.
c)
Ketiga, mencampur al-burr
dengan asy-sya'iir untuk makanan di rumah. Keberkahan di sini terletak
pada unsur ketersediaan. Biasanya asy-sya'iir lebih murah harganya.
Mencampurkannya dengan al-burr menjadikannya ekonomis mengingat harga al-bur
yang lebih mahal. Ini juga merupakan bentuk kesederhanaan makanan, yang
berlawanan dengan pemborosan dari kehidupan yang selalu enak. Di samping itu
juga ada nilai dimana kita merasakan kesulitan orang miskin dari sisi makanan.
Sesungguhnya Allah berada di belakang semua keinginan.[6]
3)
وعن
حكيم بن حزام -رضي الله عنه- (أنه كَانَ يَشْتَرِطُ عَلَى الرَّجُلِ إِذَا
أَعْطَاهُ مَالًا مُقَارَضَةً يَضْرِبُ لَهُ بِهِ أَنْ لَا تَجْعَلَ مَالِي فِي
كَبِدٍ رَطْبَةٍ , وَلَا تَحْمِلَهُ فِي بَحْرٍ , وَلَا تَنْزِلَ بِهِ فِي بَطْنٍ
مَسِيلٍ , فَإِنْ فَعَلْتَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَقَدْ ضَمِنْتَ مَالِي، )رواه الدار قطني، ورجاله ثقات( [7] وقال ملك في الموطأ عن العلاء بن عبد الرحمن بن يعقوب
عن أبيه عن جده: (أنه عمل في مال لعثمان على أن الربح بينهما). وهو موقوف صحيح[8]
Artinya:
“Dari Hakim bin Hizam RA: Bahwa
dia mensyaratkan kepada orang yang diberinya modal secara qiradh agar tidak
mengelolanya untuk jual beli hewan, tidak membawanya mengarungi lautan, tidak
membawanya turun ke lembah sungai. Jika kamu melakukan salah satu dari hal-hal
itu maka kamu bertanggungjawab atas hartaku tersebut? (jika terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan). (HR.
Ad-Daruquthni) dan para perawinya dalah orang-orang yang tsiqah. Sementara itu
imam Malik dalam Al Muwaththa' meriwayatkan dari Al Ala' bin Abdurrahman bin
Ya'qub dari ayahnya dari kakeknya, bahwa kakeknya bekerja dengan uang Utsman
dengan kesepakatan keuntungan di antara mereka. (Riwayat ini mauquf namun
shahih).
Ibnu Hajar berkata, "Hadis di atas
diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni. Para perawi hadis ini adalah para perawi yang
tsiqah. Dalam at-Talkhish, dia mengatakan, “Hadis di atas (juga)
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad kuat dan sesuai dengan kriteria dua
tokoh yaitu Bukhari dan Muslim. Hadis ini termasuk Hadis mauquf yang shahih.”
Sedangkan untuk Hadis Utsman RA, para perawi Hadis ini adalah para perawi Hadis
imam Muslim, kecuali Ya'qub al-Madani. Mengenai Ya'qub ini, Ibnu Hajar
menilainya sebagai perawi yang dapat diterima (maqbul).
Hadis
ini menjelaskan beberapa hal:
a) Hadis
ini merupakan dalil pelaksanaan kerjasama Mudharabah. la menunjukkan bahwa
Mudharabah termasuk salah satu transaksi yang diizinkan karena selaras dengan
kaidah-kaidah muamalah islami.
b) Ia juga
menunjukkan bahwa diizinkannya pembuatan syarat dan ketentuan yang
mengunguntungkan salah satu pihak atau menguntungkan transaksi itu sendiri
c) Hadis
ini menunjukkan bahwa syarat-syarat yang telah disepakati oleh kedua pihak
adalah berlaku dan mengikat.
d) Sernua
syarat dan ketentuan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Al Qur' an dan
Sunnah. Jika syarat dan ketentuan tersebut bertentangan maka syarat dan
ketentuan itu batal dengan sendirinya, meskipun jumlahnya sangat banyak
e) Hadis
ini juga menunjukkan bahwa, pada asalnya dalam suatu transaksi dibuat tanpa
syarat apapun. Untuk itu, jika syarat ada maka syarat itu harus dijelaskan.
Jika salah satu pihak menuduh bahwa ada syarat-syarat tertentu yang batal di
awal transaksi maka ia harus mendatangkan saksi (tidak cukup dengan dakwaannya
saja)
f) Di
antara syarat yang diakui dan mengikat adalah syarat pemilik modal yang
menyatakan agar pihak pengelola tidak menginvestasikan modalnya pada
usaha-usaha yang rentan mengalami kerugian atau pada usaha-usaha yang
membutuhkan anggaran lebih besar. Contohnya seperti syarat tidak berinvestasi
dengan jual beli hewan, atau tidak membawanya ke tempat-tempat yang berbahaya
seperti mengarungi lautan atau jalur jalur yang biasa terjadi perampokan, atau
pemiliki modal mensyaratkan agar pengelola memperhatikan lebih serius keadaan
keuangan yang diberikan serta melindungi lebih dari sekedar perlindungan
standar, sehingga tidak membawanya ke tengah tengah lembah sungai. Larangan
seperti ini pernah berlaku karena kekhawatiran terhadap kemungkinan hanyut.
g) Di
antara syarat yang diakui dan mengikat adalah syarat menghindari hal-hal
tertentu yang mengkhawatirkan saat mengelola modal. Contohnya pemilik modal
berkata, "Jika kamu melakukan pelanggaran (dengan melakukan hal-hal
yang dilarang) atau jika kamu melakukan keteledoran dengan cara melanggar perjanjian
syarat yang dibuat maka kamu (pengelola) harus bertanggunjawab atas modal
tersebut (jika terjadi hal-hal yang merugikan)." Pengelola yang
melakukan kesalahan pelanggaran pada dasarnya bertanggungjawab atas modal, baik
hal itu disyaratakan atau tidak. Namun penyebutannya dalam syarat akan
memperkuat perjanjian kerjasama serta dapat menjadi alat penekan bagi pengelola
agar tidak bertindak sembrono atau melanggar.
h) Penetapan
syarat baik dari pihak pemilik modal maupun pengelola (mudhaarib) adalah
boleh dan mengikat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan hukum Allah
yang mengakibatkan kerjasama tersebut hanya melahirkan kezhaliman, penipuan,
tidak transparan, beresiko dan sejenisnya. Sebaliknya jika terdapat syarat
semacam itu maka syarat tersebut batal dan tidak berlaku. Wallahua'lam.[9]
[1] Sulaiman bin Ahmad bin Mutair Al-Lakhmi At-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Awsat Jilid 1, (Kairo: Darul Haramain)
[2] http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/2237/KRITIK%20HADIS%20DSN%20Format%20jurnal.pdf?sequence=1 diakses tanggal 08/10/2022 pukul 14.50
[3] Syafri Muhammad Noor, Hadits Syirkah dan Mudharabah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019)
[4] Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah Jilid 3, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1996)
[5] Abdullah Bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
[6] Abdullah Bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5
[7] Al Imam Al Hafizh Ali bin Umar, Sunan ad-Daruquthni Jili 4, (Beirut: Ar-Resalah Publisher, 2004)
[8] Abdullah Bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5
[9] Abdullah Bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5
0 Komentar