Syariah Marketing




Kata “syariah” (asy-syari’ah) telah ada dalam bahasa Arab sebelum Al-Quran. Kata yang semakna dengannya juga ada dalam Taurat dan Injil. Kata syari’at dalam bahasa Ibrani disebutkan sebanyak 200 kali, yang selalu mengisyaratkan  pada makna “ kehendak Tuhan yang diwahyukan  sebagai wujud kekuasaan-Nya atas segala perbuatan manusia”.[1]
Kata-kata itu disebutkan pertama kali dalam kitab Keluaran: “Berfirmanlah Tuhan kepada Musa dan Harun: Inilah kewajiban (ordinance) mengenai Paskah ... Satu syari’at (law) saja akan berlaku untuk orang asli dan untuk orang asing yang menetap di tengah-tengah kamu.” (Kitab Keluaran 12: 43-49). Kemudian disebutkan dalam kitab Imamat, “Inilah syari’at tentang korban sajian. Anak-anak Harun haruslah membawanya kehadapan Tuhan  ke depan Mezbah” (Kitab Imamat 6:14). “Inilah syariat tentang tentang korban penebus salah. Korban korban itu ialah persembahan Mahakudus.”[2]
Pada kalam al-Masih yang ada dalam Injil disebutkan, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya’ melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini,satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi”. (Matius 5: 17-18).
Kata namus (Taurat) dalam beberapa teks diartikan sebagai syari’ah, sebagaimana kata anbiya’ (para nabi) bisa diartikan sebagai risaalaat (risalah-risalah). Oleh karena itu ada teks yang berbunyi: ”Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan syari’ah atau risalah-risalah”. Al Masih a.s. bersabda: “Kalian telah meninggalkan Namus (Taurat) terberat: (yaitu) kebenaran, kasih sayang, dan keimanan.” Yang dimaksud dengan kata Namus oleh al-masih adalah syari’ah dalam pengertian yang umum, yang berarti aturan orang-orang yang dekat. Ia juga diartikan dengan ruh agama dan syari’ah Musa a.s., sebagaimana pemahaman yang sudah ada sebelum risalahnya (al-masih).[3]
Sedangkan kata syari’ah dalam al-Qur’an, disebutkan hanya sekali, yaitu pada surat al-Jaatsiyah,  “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” (QS. Al-Jatsiyah, 45:18).
Kemudian kata itu muncul dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan derivatnya sebanyak tiga kali:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kapada Ibrahim, Musa, dan Isa ...” (QS. Asy-Syuura, 42:13).
“Untuk tiap-tiap ummat diantara kamu, Kami berikan aturan (syi’ah) dan jalan”.(QS. Al-Maidah, 5:48).
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih”. (QS. Asy-Syuura, 42:21).
Kata syariah berasal dari kata syara’a al-syai’a yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Atau, berasal dari kata syir’ah dan syari’ah yang berarti suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain[4]
Syekh Al-Qaradhawi,[5] mengatakan cakupan dari pengertian syari’ah menurut pandangan Islam,  sangatlah luas dan konprehensif (al-Syumul), didalamnya mengandung makna mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek ibadah (hubungan manusia dengan Tuhannya), aspek keluarga (seperti nikah, talak, nafkah, wasiat, warisan), aspek bisnis (perdagangan, industri, perbankan, asuransi, utang piutang, marketing, hibah), aspek ekonomi (permodalan, zakat, bait al mal, fa’i, ghanimah) , aspek hukum dan peradilan, aspek undang-undang, hubungan antar negara dan sebagainya.

Adapun marketing, adalah salah satu bentuk muamalah yang dibenarkan dalam Islam, sepanjang dalam segala proses transaksinya terpelihara dari hal-hal yang terlarang oleh ketentuan syariah.
Prof Kotler mendefenisikan marketing sebagai bla bla bla .................................

Defenisi marketing menurut WMA, bla bla bla ..................................................

Kami mendefenisi marketing syariah sebagai sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan , penawaran, dan perubahan values dari suatu inisiator kepada stakeholders-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalat (bisnis) dalam Islam (marketing syariah is a strategic business discipline that directs the process of creating, offering, and changing value from one initiator to its stakeholders, and the whole process should be in accordance with muamalah principles in Islam).
Defenisi di atas, didasarkan pada salah satu ketentuan dalam bisnis Islami yang tertuang dalam  kaidah fiqih yang mengatakan, “al-muslimuuna ‘alaa syuruuthihim illa syarthan harroma halaalan aw ahalla haraaman” (kaum muslimin terikat dengan kesepakatan-kesepakatan bisnis yang mereka buat, kecuali kesepakatan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan  yang haram). Selain itu, kaidah fiqih lain mengatakan “al-ashlu fil muaamalahtil ibahah illah ayyadulla daliilun ‘alaa tahriimihaa”  (pada dasarnya semua bentuk muamalah (bisnis) boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan)
Ini artinya bahwa dalam marketing syariah, seluruh proses, baik proses penciptaan, proses penawaran maupun proses perubahan nilai (value),  tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah yang Islami.  Sepanjang hal tersebut dapat dijamin, dan penyimpangan prinsip-prinsip muamalah Islami  tidak terjadi, dalam suatu transaksi atau dalam proses suatu bisnis, maka bentuk transaksi apapun dalam marketing dapat dibolehkan.
Pada bagian ini kami ingin mengeksplor apa yang kami maksudkan dengan marketing syariah. Ada 4 (empat) karakteristik marketing Syariah, yang dapat menjadi panduan bagi para marketer sebagai berikut:
1.    Teistis (Rabbaniyyah)
2.    Etis (Akhlaqiyah)
3.    Realistis (Al-Waqiah)
4.    Humanistis (Insaniyyah)

1.3.1   Teistis (Rabbaniyyah)
Kekhasan dari marketing syariah, yang tidak dimiliki dalam marketing konvensional yang kita kenal selama ini adalah sifatnya yang religius (diniyyah). Kondisi ini dapat tercipta tidak karena keterpaksaan, tapi berangkat dari suatu kesadaran akan nilai-nilai religius, yang dipandang penting dan mewarnai aktifitas marketing agar tidak terperosok kedalam perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Jiwa seorang marketer syariah meyakini bahwa hukum-hukum syariat yang teistis ini adalah hukum yang paling adil, paling sempurna, paling selaras dengan segala bentuk kebaikan, paling dapat mencegah segala bentuk kerusakan , paling mampu mewujudkan kebenaran, memusnahkan kebatilan, dan menyebarluaskan  kemaslahatan. Karena merasa cukup akan segala kesempurnaan dan kebaikannya, dia rela melaksanakannya.
Dari hati yang paling dalam, seorang marketer syariah meyakini bahwa Allah swt. selalu dekat dan mengawasinya (waskat) ketika dia sedang melaksanakan segala macam bentuk bisnis. Dia pun yakin bahwa Allah swt akan meminta pertanggung jawaban darinya atas pelaksanaan syariat itu pada hari ketika semua orang dikumpulkan untuk diperlihatkan amal-amalnya (di hari kiamat).
Allah berfirman, “Barang siapa yang melakukan suatu kebaikan sebesar biji atom sekalipun, maka dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang melakukan suatu kejahatan sebesar atom sekalipun, maka dia akan melihatnya pula” (QS. Al-Zalzalah: 7-8) 
Seorang marketer syariah akan segera mematuhi hukum-hukum syariah, dalam segala aktivitasnya sebagai seorang marketer. Mulai dari ketika ia melakukan strategi pemasaran, memilah-milah pasar (segmentasi), kemudian memilih pasar mana yang harus ia harus fokus (targeting) dan ketika ia akan menetapkan apa identitas perusahaannya harus senantiasa tertanam dalam benak nasabahnya (positioning).
 Kemudian, ketika ia harus menyusun taktik pemasaran, apa yang menjadi keunikan dari perusahannya dibanding perusahaan lain (differentiation), begitu juga dengan marketing mix-nya,  dalam mendesign produk, menetapkan harga, penempatan, dan dalam melakukan promosi, senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai religius. Ia harus senantiasa menempatkan kebesaran Allah di atas segala-galanya. Apalagi dalam melakukan proses penjualan (selling) yang sering menjadi tempat seribu satu macam kesempatan untuk melakukan kecurangan dan penipuan, kehadiran nilai-nilai religius menjadi sangat penting.
Marketing syariah sangat concern pula dengan nilai (value). Marketing syariah, haruslah memiliki value yang lebih tinggi. Ia harus memiliki brand yang lebih baik, karena bisnis syariah adalah bisnis trust, bisnis berkeadilan, dan bisnis yang tidak ada tipu muslihat didalamnya. Service merupakan  jiwa dalam bisnis syariah, karena itu Rasulullah pernah mengatakan, “saidul kaum khadimuhum”, perusahaan itu adalah pelayan bagi customernya. Dan terakhir, dalam hal proses, baik dalam internal proses, yang akan berdampak pada pelayanan kepada customer, maupun eksternal proses , seperti  proses delivering, channeling, mudah dijangkau, haruslah menjadi concern marketing syariah.
Marketer syariah selain tunduk kepada hukum-hukum syariah, ia juga senantiasa menjauhi segala larangan-larangannya dengan sukarela, pasrah, dan nyaman, didorong  oleh bisikan dari dalam, bukan paksaan dari luar. Oleh sebab itu, jika suatu saat hawa nafsu menguasai dirinya lalu melakukan pelanggaran terhadap perintah dan larangan syariah, misalnya mengambil uang yang bukan haknya, memberi keterangan palsu, ingkar janji dan sebagainya, maka dia akan merasa berdosa, kemudian segera bertaubat dan mensucikan diri dari penyimpangan yang dilakukan. Ia akan senantiasa memelihara hatinya agar tetap hidup, dan memancarkan cahaya kebaikan dalam segala aktifitas bisnisnya.
Hati adalah sumber pokok bagi segala kebaikan dan kebahagiaan seorang. Bahkan, bagi seluruh makhluk yang dapat berbicara, hati merupakan kesempurnaan hidup dan cahayanya. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya yang terang, yang demikian cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (QS. Al An’am: 122)
Al Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah[6], mengatakan ayat ini mengisyaratkan antara penggabungan kehidupan dengan cahaya. Dengan hidup, seorang mempunyai kekuatan pendengaran, penglihatan, rasa malu, rasa mulia, berani, sabar dan sejumlah budi pekerti yang mulia, termasuk juga kecintaannya kepada segala sesuatu yang baik, dan kebenciannya kepada segala sesuatu yang buruk. Makin kuat hidupnya, makin kuat pula sifat mulia ini,  dan makin melemah hidupnya, maka makin melemah pula sifat-sifat mulia ini, sehingga tidak malu untuk mengerjakan berbagai perbuatan buruk.
Hati yang sehat, yang hidup ketika didekati oleh bergagai perbuatan yang buruk, maka ia akan menolaknya dan membencinya dengan spontanitas, dan ia tidak condong kepadanya sedikitpun. Berbeda dengan hati yang mati, ia tidak dapat membedakan antara yang baik dan dan yang buruk, seperti yang diucapkan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud r.a, “Akan binasa seorang yang tidak mempunyai hati yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk”

1.3.2.    Etis (Akhlaqiyah)
Keistimewaan yang lain dari marketer syariah selain karena teistis (rabbaniyyah), karena ia sangat mengedepankan masalah akhlak (moral, etika) dalam seluruh aspek kegiatannya. Kasus Enron, Worlcom, Global Crossing di tingkat dunia, dan kasus BLBI, Bank Mandiri, KPU, skandal dana DAU Depag, Gubernur Aceh, penyimpangan dana Di beberapa DPRD, dan ratusan lagi kasus-kasus lainnya belum terbongkar di negeri ini, terjadi disebabkan karena sudah tidak ada lagi nilai-nilai etika dan moral yang tertanam didalam dada para pelakunya. Hatinya sudah hitam kelam, hanya memikirkan kepentingan pribadi tanpa menghiraukan kepentingan rakyat banyak.
Sifat ini sebenarnya merupakan turunan dari sifat teistis (robbaniyyah) di atas. Dengan demikian marketing syariah adalah marketing yang sangat mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tidak peduli apapun agamanya. Karena nilai-nilai moral dan etika adalah nilai yang bersifat universal,  yang diajarkan oleh semua agama yang diturunkan oleh Allah swt.
Rasulullah saw pernah bersabda kepada umatnya; “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, karena itu sudah sepatutnya ini bisa menjadi panduan bagi marketer syariah, dimana selalu memelihara moral dan etika, dalam setiap tutur kata, prilaku, dan keputusan-keputusannya.
Sahabat saya,  Nio Gwan Chung ( Muhammad Syafi’i Antonio)[7] melukiskan hal ini dengan sangat indah, ia mengatakan; manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam memandang bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah swt kepada sang khalifah agar dipergunakan  sebaik-baik bagi kesejahteraan  bersama.
Untuk mencapai tujuan suci ini Allah memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah, akhlak (moral, etika), maupun syariah.
Dua komponen pertama, aqidah dan Akhlak (moral, etika), bersifat konstan. Keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan  dan taraf peradaban ummat, yang berbeda-beda sesuai dengan rasulnya masing-masing.
Hal ini diungkapkan  oleh Rasulullah saw dalam suatu hadits:
“Para rasul tak ubahnya bagaikan saudara sebapak, syariah mereka banyak  tetapi agama (aqidah)nya satu (yaitu mentauhidkan Allah).” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad)
Kesungguhan untuk senantiasa hidup bersih lahir bathin merupakan salah satu cara untuk meraih derajat kemuliaan  disisi Allah. Dalam  al-Qur’an dituturkan, “ ... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan dirinya”. (QS.Al-Baqarah: 222).
Aa’ Gym[8] mengatakan, bagi muslim, setiap akan melakukan shalat kita diwajibkan untuk bersuci. Bukan hanya suci tubuh, tapi juga suci pakaian, tempat ibadah, tempat ibadah, bahkan suci hati. Bagaimana orang akan tenteram dalam shalat jika hatinya lalai, pikirang ‘berkeliling’ ke mana-mana? Suci tubuh dan hati adalah jembatan menuju kesempurnaan ibadah.
Prinsip bersuci dalam Islam tidak hanya dalam rangkaian ibadah, namun dapat kita temukan juga dalam kehidupan sosial sehari-hari. Dalam berbisnis, berumah-tangga, bergaul, bekerja, belajar, dan lain-lain. Di semua tempat itu, kita diajarkan bersikap suci. Menjauhkan diri dari dusta, kezaliman, menipu, khianat, dan bahkan sikap bermuka dua (munafik). Itulah sesungguhnya hakikat pola hidup bersih sebagai seorang marketer syariah.

1.3.3.   Realistis (al-waqiah)
Marketing syariah, bukanlah konsep yang eksklusif, fanatisme, dan rigit. Bukan pula konsep yang  kampungan, kaku, dan ‘gak gaul’. marketing syariah, adalah konsep marketing yang sangat-sangat fleksibel sebagaimana keluasan dan keluwesan syariah Islamiyyah yang melandasinya.
Marketer syariah bukanlah marketer yang harus pakai jubah, memanjangkan jenggot, celana panjang di atas mata kaki (maaf) seperti orang kebanjiran,  dan mengharamkan dasi karena simbol barat, bukan. Marketing syariah tidak harus demikian, marketer syariah adalah para marketer profesional , dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, bekerja sangat dengan profesional, dan mengedepankan nilai-nilai religius, keshalehan,  aspek moral, dan kejujuran  dalam segala aktifitas marketingnya.
Ia tidak kaku, tidak eksklusif, tapi sangat fleksibel dan luwes dalam bersikap dan bergaul. Ia sangat memahami bahwa dalam situasi pergaulan di lingkungan yang sangat heterogen, dengan beragam suku, agama, dan ras, ada ajaran yang diberikan oleh Allah swt dan di contohkan oleh nabi untuk bisa bersikap lebih bersahabat, santun dan simpatik terhadap saudara-saudaranya dari umat lain. Ada sejumlah pedoman dalam prilaku bisnis yang dapat diterapkan kepada siapa saja tanpa melihat suku, agama, dan asal usulnya.
Dalam istilah fiqih disebut kelonggaran (al-‘afw) atau wilayah yang sengaja tidak dijamah oleh teks. Wilayah ini diisi oleh ijtihad para mujtahid, sesuai dengan masa dan kondisinya. Namun prinsip-prinsip umum syariah, semangat, dan petunjuk teks-teks yang muhkam (jelas) harus tetap diperhatikan.          
Fleksibilitas atau kelonggaran (al’afw) sengaja diberikan oleh Allah agar penerapan syariah senantiasa realistis (alwaqiah) dan dapat mengikuti perkembangan zaman, sebagaimana sabda Nabi s a w, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan ketentuan-Nya, janganlah kalian langgar. Dia telah menetapkan beberapa perkara yang wajib, janganlah kalian sia-siakan. Dia telah mengharamkan beberapa perkara, jaganlah kalian langgar. Dan Dia telah membiarkan dengan sengaja beberapa perkara sebagai bentuk kasih-Nya terhadap kalian, jangan kalian permasalahkan”. (HR Al-Daruquthni)
Syekh al-Qaradhawi[9], dalam menjelaskan hadits diatas, mengatakan bahwa ungkapan “janganlah kalian permasalahkan”  ditujukan kepada para shahabat yang hidup pada masa turun wahyu, agar di dalam menetapkan kewajiban dan larangan tidak menambah-nambahkan sesuatu yang memberatkan. Dalam hadis lain disebutkan, “Biarkan apa yang aku biarkan untuk kalian” (HR Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Al-Nasa’i. Dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Tentang hal diatas, Allah berfirman, wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an  diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun (QS. Al Maidah, 5:101).
Saya (Al Qaradhawi), menyebut ayat ini sebagai ruang kelonggaran (al-‘afw) karena terinspirasi oleh sebuah hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Salman yang berbunyi, Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya adalah halal. Apa yang Dia haramkan adalah haram. Apa yang dia diamkan adalah kelonggaran (al-‘afw). Terimalah kelongaran dari Allah ini karena  Dia  tidak mungkin melupakan sesuatu. Kemudian, beliau membacakan ayat, “Tidaklah Tuhanmu berbuat lupa” (HR Al-Bazzar)
Semua ini menunjukkan bahwa sedikitnya beban dan luasnya ruang kelonggaran bukanlah suatu kebetulan, melainkan kehendak Allah agar syariah Islam senantiasa abadi dan kekal sehingga sesuai bagi setiap zaman, daerah dan keadaan apapun.
Dalam sisi inilah marketing syariah berada, Ia bergaul, bersilaturrahmi, melakukan transaksi bisnis ditengah-tengah realitas kemunafikan, kecurangan, kebohongan, penipuan sudah menjadi biasa dalam dunia bisnis.  Akan tetapi, Ia berusaha tegar, istiqomah dan menjadi cahaya penerang di tengah-tengah kegelapan.


1.3.4        Humanistis (Al-Insaniyyah)
Keistimewaan marketing syariah yang lain adalah sifatnya yang humanistis universal. Pengertian humanistis (al-insaniyyah) adalah bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang, dengan panduan syariah. Dengan memiliki nilai humanistis ia menjadi manusia yang terkontrol, dan seimbang (tawazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Manusia yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain, manusia yang hatinya kering dengan kepedulian sosial.
Syariat Islam adalah syariah humanistis (insaniyyah). Syariat Islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, tanah air, dan status. Hal inilah yang  membuat syariah  memiliki sifat universal sehingga menjadi  syariat humanistis universal.
Syariat Islam bukan syariat bangsa Arab, walaupun Muhammad yang membawanya adalah orang Arab. Syariat Islam adalah milik Tuhan manusia bagi seluruh manusia..Dia menurunkan kitab yang berisi syariat sebagai kitab universal, yaitu al-Quran sebagaimana firmanNya, Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan kepada hambaNya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (QS al-Furqan 25 : 1). Ayat pertama dalam al-Quran, setelah basmalah, adalah Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam (QS al-Fatihah 1 : 2) dan surah terakhirnya adalah, Katakanlah, aku berlindung kepada Tuhan manusia. Raja manusia. Sembahan manusia (QS al-Naas 114: 1-3).
Dengan membawa syariat tersebut, Muhammad diutus sebagai Rasul universal. Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiyaa’ 21 :107); Katakanlah, “Wahai manusia,sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah kepada kalian semua (QS al-A’raaf 7 : 158). Yang dimaksud dengan universal (al-‘alamiyyah) seluruh penduduk planet ini sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah.
Di antara dalil-dalil sifat humanistis dan universal syariat Islam adalah prinsip ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan antarmanusia). Islam tidak memedulikan semua faktor yang membeda-bedakan manusia, baik asal daerah,warna kulit, maupun status sosial.Islam mengarahkan seruannya kepada seluruh manusia, bukan kepada sekelompok orang tertentu, atas dasar ikatan persaudaraan antarsesama manusia. Mereka semua adalah hamba Tuhan Yang Esa yang telah menciptakan dan menyempurnakan mereka.Mereka semua adalah anak dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa). Status mereka sebagai hamba Tuhan dan anak Adam telah mengikatkan tali persaudaraan di antara mereka. Allah Swt berfirman, Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu. Dan dari padanya Allah menciptakan istrinya. Dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan namaNya kamu saling meminta satu sama lain. Dan peliharalah hubungan silahturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS al-Nisa 4 : 1).
Alangkah indah kata kasih sayang (al-arhaam) dalam ayat yang ditujukan kepada seluruh manusia itu. Kata itu mengingatkan mereka tentang satu jiwa yang darinya tersebar keturunannya. Alangkah indah persaudaraan seluruh manusia yang ditunjukkan oleh ayat tersebut.
Allah Swt berfirman, Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan kami menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal  (QS al-Hujuraat 49 : 13) . Ayat ini tidak mengingkari keragaman suku dan bangsa, tetapi menyuruh semua manusia mengingat asal tempat mereka tumbuh. Mereka juga tidak boleh melupakan tujuan di balik perbedaan tersebut, yaitu untuk saling mengenal dan menolong, bukan saling menaklukkan dan memerangi. Saling percaya satu sama lain, bukan saling curiga. Saling bantu membantu, bukan saling melempar bom. Oleh karena itu, Rasulullah Saw menyeru seluruh umat manusia agar menjalin persaudaraan, agar tidak saling mengungguli, dan tidak saling mengganggu. Prinsip persaudaraan ini dijadikan prinsip  utama risalahnya, sampai-sampai ada riwayat yang menjelaskan bahwa setiap akhir shalat, Rasulullah Saw berdoa dengan doa yang luas, mendalam dan merangkum seluruh dakwahnya ini.
Ya Allah Tuhan kami, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa Engkau adalah satu-satunya Tuhan. Tidak ada sekutu bagimu. Ya Allah Tuhan kami, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaMu dan utusanMu. Ya Allah Tuhan kami, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa seluruh hambaMu adalah bersaudara” (HR Ahmad dari Zaid ibn Arqam)
Alangkah indahnya jika doa Rasulullah ini, “...Aku bersaksi bahwa seluruh hambaMu adalah bersaudara” menjadi ciri dan karakter kita semua dalam segala interaksi dalam bisnis, dalam bermitra, dalam bersaing secara sehat, dan dalam membangun kembali bangsa kita yang sudah tercabik-cabik, saling curiga (su’udzan) satu sama lain, terhasuk oleh provokasi kepentingan-kepentingan kelompok,  sehingga tidak jarang nilai-nilai kemanusiaan kita yang hakiki menjadi hilang.

Catatan: Dikutip dari buku Muhammad Syakir Sula & Hermawan Kartajaya,  “Marketing Syariah”, Penerbit Mizan Utama, Bandung, bab I bagian 3, hal


[1] Encyclopedia Britannica, X, (Micropeadia), hal 49. Saya kutib dari Muhammad Said Al-Asymawi, Ushul Asy-Syari’ah (Nalar Kritis Syariah), Kairo, Mesir. 1978
[2] Muhammad Said Al-Asymawi, Ushul As-Syari’ah (Nalar Kritis Syari’ah), Kairo, Mesir, 1978.
[3] Ibid
[4] Lihat Mu’jam Alfazh al-Qur’an al-Karim, Kairo: majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, juz 2, hal 13
[5] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Op., Cit.
[6]   Al-Imam Ibnul Qayyim al_Jauziyyah, Al-Qalbu Bainal Hayaati Wal Mauti, Daarul Wathan, Mesir, 1980
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah wacana Ulama & Cendikiawan, BI&Tazkia Institute, Jakarta, 1999


[8] KH. Abdullah Gymnastiar, Meraih Bening Hati Dengan Manajemen Qolbu, Gema Insani, Jakarta, 2002
[9] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Op.,cit

Posting Komentar

0 Komentar

Ads